1. Glodok
Asalnya dari kata grojok yang merupakan sebutan dari bunyi air yang jatuh dari pancuran air. Di tempat itu dahulu kala ada semacam waduk penampungan air kali Ciliwung. Orang Tionghoa dan keturunan Tionghoa menyebut grojok sebagai glodok karena orang Tionghoa sulit mengucap kata grojok seperti layaknya orang pribumi.
2. Kwitang
Dulu di wilayah tersebut sebagian tanah dikuasai dan dimiliki oleh tuan tanah yang sangat kaya raya sekali bernama Kwik Tang Kiam. Orang Betawi jaman dulu menyebut daerah itu sebagai kampung si kwi tang dan akhirnya lama-lama tempat tersebut dinamai Kwitang.
3. Senayan
Dulu daerah Senayan adalah milik seseorang yang bernama Wangsanaya yang berasal dari Bali. Tanah tersebut disebut orang-orang dengan sebutan Wangsanayan yang berarti tanah tempat tinggal atau tanah milik wangsanaya. Lambat laun akhirnya orang menyingkat nama wangsanayan menjadi senayan.
4. Menteng
Daerah Menteng Jakarta Pusat pada zaman dahulu kala merupakan hutan yang banyak pohon buah-buahan. Karena banyak pohon buah menteng orang menyebut wilayah tersebut dengan nama kampung menteng. Setelah tanah itu dibeli oleh Pemerintah Belanda pada tahun 1912 sebagai lokasi perumahan pegawai pemerintah Hindia Belanda, maka daerah itu disebut Menteng.
5. Karet Tengsin
Nama daerah yang kini termasuk kawasan segitiga emas Kuningan ini berasal dari nama orang Cina yang kaya raya dan baik hati. Orang itu bernama Tan Teng Sien. Karena baik hati dan selalu memberi bantuan kepada orang-orang sekitar kampung, maka Teng Sien cepat dikenal oleh masyarakat sekitar dan selalu menyebut daerah itu sebagai daerah Teng Sien. Karena pada waktu itu banyak pohon karet, maka daerah itu dikenal dengan nama Karet Tengsin.
6. Kebayoran
Kebayoran berasal dari kata kebayuran, yang artinya “tempat penimbunan kayu bayur”. Kayu bayur yang sangat baik untuk dijadikan kayu bangunan karena kekuatanya serta tahan terhadap rayap.
7. Lebak Bulus
Daerah yang terkenal dengan stadion dan terminalnya diambil dari kata “lebak” yang artinya lembah dan “bulus” yang berarti kura-kura. Jadi lebak bulus dapat disamakan dengan lembah kura-kura. Kawasan ini memang kontur tanahnya tidak rata seperti lembah, dan di kali Grogol dan kali Pesanggrahan - dua kali yang mengalir di daerah tersebut - memang terdapat banyak sekali kura-kura alias bulus.
8. Kebagusan
Nama Kebagusan, daerah yang menjadi tempat hunian mantan presiden Megawati, berasal dari nama seorang gadis jelita, Tubagus Letak Lenang. Konon, kecantikan gadis keturunan kesultanan Banten ini membuat banyak pemuda ingin meminangnya. Agar tidak mengecewakan hati pemuda itu, ia akhirnya memilih bunuh diri. Sampai sekarang makam itu masih ada dan dikenal dengan nama ibu Bagus.
9. Ragunan
Berasal dari Wiraguna, yaitu gelaran yang disandang tuan tanah pertama kawasan tersebut bernama Hendrik Lucaasz Cardeel, yang diperolehnya dari Sultan Banten Abunasar Abdul Qahar, putra Sultan Ageng Tirtayasa.
10. Pasar Rumput
Dulu, tempat ini merupakan tempat berkumpulnya para pedagang pribumi yang menjual rumput. Para pedagang rumput terpaksa mangkal di lokasi ini karena mereka tidak diperbolehkan masuk ke permukiman elit Menteng. Saat itu, sado adalah sarana transportasi bagi orang-orang kaya sehingga hampir sebagian besar penduduk menteng memelihara kuda.
11. Paal Meriam
Asal usul nama daerah yang berada di perempatan Matraman dengan Jatinegara ini berasal dari suatu peristiwa sejarah yang terjadi sekitar tahun 1813. Pada waktu itu pasukan artileri meriam Inggris yang akan menyerang Batavia, mengambil daerah itu untuk meletakkan meriam yang sudah siap ditembakkan. Peristiwa tersebut sangat mengesankan bagi masyarakat sekitar, dan menyebut nama daerah ini paal meriam (tempat meriam disiapkan).
12. Cawang
Dulu, ketika Belanda berkuasa, ada seorang letnan Melayu yang mengabdi pada kompeni, bernama Ende Awang. Letnan ini bersama anak buahnya bermukim di kawasan yang tak jauh dari Jatinegara. Lama-kelamaan sebutan Ende Awang berubah menjadi Cawang.
13. Pondok Gede
Sekitar Tahun 1775, lokasi ini merupakan lahan pertanian dan peternakan yang disebut dengan Onderneming. Di sana terdapat sebuah rumah yang sangat besar milik tuan tanah yang bernama Johannes Hoojiman. Karena merupakan satu-satunya bangunan besar yang ada di lokasi tersebut, bangunan itu sangat terkenal. Masyarakat pribumi pun menjulukinya “Pondok Gede”.
14. Condet Batu Ampar dan Balekambang
Pada jaman dahulu ada sepasang suami istri, namanya Pangeran Geger dan Nyai Polong, memiliki beberapa orang anak. Salah satu anaknya, perempuan, diberi nama Siti Maemunah, terkenal sangat cantik. Pangeran Astawana, anak pangeran Tenggara atau Tonggara asal Makassar pun tertarik melamarnya. Siti Maemunah meminta dibangunkan sebuah rumah dan tempat peristirahatan di atas empang, dekat kali Ciliwung yang harus selesai dalam satu malam. Permintaan itu disanggupi, dan menurut legenda, esok harinya sudah tersedia rumah dan sebuah bale di sebuah empang di pinggir kali Ciliwung. Untuk menghubungkan rumah itu dengan kediaman keluarga pangeran Tenggara, dibuat jalan yang diampari (dilapisi) batu.
Demikian menurut cerita, tempat yang dilalui jalan yang diampari batu itu selanjutnya disebut Batu Ampar, dan bale (balai) peristirahatan yang seolah-olah mengambang di atas air itu disebut Balekambang.
15. Buncit
Dulunya di jalan Buncit Raya (sekarang) ada pedagang kelontong China berperut gendut (Buncit) yang terkenal.
16. Bangka
Dulunya di sana banyak ditemukan mayat (bangke/bangkai) orang yg dibuang di kali Krukut.
17. Cilandak
Konon di sana pernah ditemukan seekor landak raksasa.
18. Tegal Parang
Di sana banyak ditemukan alang-alang tinggi (tegalan) yang dipotong dengan parang (golok).
19. Blok A/M/S
Dulunya di sekitar situ tempat pembukaan perumahan baru yang ditandai dengan blok, mulai A-S. Sayang yang tersisa tinggal 3 blok doang.
20. Kampung Ambon
Berlokasi di Rawamangun, Jakarta Timur, nama Kampung Ambon sudah ada sejak tahun 1619. Pada waktu itu JP Coen sebagai Gubernur Jenderal VOC menghadapi persaingan dagang dengan Inggris. Untuk memperkuat angkatan perang VOC, Coen pergi ke Ambon, lalu merekrut masyarakat Ambon untuk dijadikan tentara. Pasukan dari Ambon yang dibawa Coen itu kemudian diberikan pemukiman di daerah Rawamangun, Jakarta Timur. Sejak itulah pemukiman tersebut dinamakan Kampung Ambon.
21. Sunda Kelapa
Sunda Kelapa merupakan sebutan sebuah pelabuhan di teluk Jakarta. Nama kelapa diambil dari berita yang terdapat dalam tulisan perjalanan Tome Pires pada tahun 1513 yang berjudul Suma Oriental. Dalam buku tersebut disebutkan bahwa nama pelabuhan itu adalah Kelapa. Karena pada waktu itu wilayah ini berada di bawah kekuasaan kerajaan Sunda, maka kemudian pelabuhan ini disebut Sunda Kelapa.
22. Pasar Senen
Pasar Senen pertama kali dibangun oleh Justinus Vinck. Orang-orang Belanda menyebut pasar ini dengan sebutan Vinckpasser (Pasar Vinck). Tetapi karena hari pada awalnya Vinckpasser dibuka hanya pada hari Senin, maka pasar itu disebut juga Pasar Senen (disesuaikan dengan kebiasaan orang-orang yang lebih sering menyebut Senen ketimbang Senin). Namun seiring kemajuan dan pasar Senen semakin ramai, maka sejak tahun l766 pasar ini pun buka pada hari-hari lain.
23. Taman Anggrek
Berawal dari keinginan bu Tien untuk mengambil kebon anggrek milik juragan tanah sunda bernama Rasman, yang dikenal orang-orang sekitar dengan nama H. Rasman, karena dia memiliki tanah berhektar-hektar di Cipete. Jadi bu Tien mengambil bunga-bunga anggrek tersebut dengan niat membeli (namun tidak dibayar) yang akhirnya dipindahkan ke daerah Jakarta Barat situh yang sekarang jadi Mall Taman Anggrek. Kemudian dipindahkan lagi ke yang sekarang semua orang ketahui ada di Taman Mini Indonesia Indah. Walaupun bunga-bunga anggreknya sudah tidak ada, namun Jl. Kebon Anggrek masih ada juga sampe sekarang. Lokasinya di Cipete (seberang SMA Cendrawasih).
24. Grogol
Grogol berasal dari bahasa Sunda (g a r o g o l) yang artinya perangkap terdiri dari tombak-tombak yang digunakan untuk menangkap hewan liar yang banyak terdapat di hutan. Nama Garogol dipasang sebagai nama sebuah desa di Limo Depok. Dahulu kawasan ini memang masih hutan liwang-liwung yang kata pak Dalang “jalma mara-jalma mati” alias menyeramkan. Sudah barang tentu di kawasan ini banyak terdapat hewan liar dan buas sehingga penduduk setempat memburunya dengan memasang perangkap (garogol). Hewan yang masuk ke perangkap mirip ciptaan “geek” alias soldadu Vietnam dijamin akan mati tertembus ujung tombak yang menganga di dasar lubang. Tapi belum jelas apakah jaman dulu ada keresahan masyarakat bahwa kambing mereka pada tewas karena darahnya dihisap oleh “mahluk misterius” yang sekarang kian marak di Depok. Konsekuensinya kali yang melewati desa ini juga dinamai kali Garogol.
Penduduk Betawi yang main gampang saja, setiap ada desa dilalui kali ini langsung diberi stempel desa Grogol, kampung Grogol. Repotnya pada peta keluaran tahun 1903, ada kampung bernama Grogol di kawasan Pal Merah. Dari Pal Merah, kali Grogol meliwati Taman Anggrek untuk menuju ke kawasan Pluit (jalan Latumeten) dan tiba pada satu daerah yang kini disebut Grogol - Negeri Tanah Tumpah Darah Anak Beta. Kalau yang memberi nama orang jaman sekarang bisa-bisa namanya “Grogol Perjuangan”. Pada 1928, sebagian Kali Grogol diuruk oleh Kumpeni. Pasalnya volume air yang mengalir dibanding kapasitas kali sering tidak memadai. Dan ini bisa mengancam kehidupan kastil sehingga harus dialirkan keluar kawasan kastil. Pada 1950-an kawasan Grogol menjadi populer.
Karena tercatat terlanggar banjir bandang yang merendam kelurahan ini. Untuk pengendalian banjir dibangun pula waduk Grogol yang letaknya di jalan dr. Semeru (Sumeru) sekarang ini. Di tengah waduk ada air muncrat yang memang agak indah tetapi meresahkan masyarakat. Pasalnya air yang muncrat tadi kualitasnya kurang bagus. Sering ketika butiran air yang menjulang tinggi lalu ditiup angin pantai, maka banyak baju penduduk yang sedang dijemur tiba-tiba saja diberi tambahan noda kuning dan berbau got. Bertepatan dengan alat pompa yang sering ngadat, maka pemandangan air muncrat sudah nyaris tidak dipertunjukkan. Soal nama jalan juga unik. Nama jalan di sini mengambil nama pahlawan seperti Latumeten, Sumeru, Mawardi, Susilo. Semeru adalah nama dari Dokter Sumeru, salah satu tokoh pejuang bangsa Indonesia, di samping nama Dokter Mawardi, Dokter Susilo. Lalu lidah Jawa mulai mengubahnya menjadi Semeru. Dan seperti keahlian bangsa ini, nama ini pun diutak-atik lagi sehingga menjadi suatu statement bahwa S(u)meru adalah nama Gunung. Nama dokter Mawardi cuma kepleset sedikit menjadi dr. Muwardi.
25. Utan Kayu
Dulunya memang berbentuk hutan di samping basis prajurit Mataram mau menyerang Batavia. Hutan ini sumber kayu dari perumahan-perumahan maupun perkampungan para pengepung Batavia maupun benteng Belanda jaman dulu. Saking lebatnya hutan ini yang disertai rawa-rawa kemudian saat pembangunan daerah ini, mulai disebut Hutan Kayu yang kemudian dipersingkat menjadi Utan Kayu. Sisa kejayaan dari hutan ini masih dirasakan hingga saat ini di mana kawasan ini masih cukup hijau dan sejuk meski bukan termasuk dalam kawasan mewah seperti halnya Menteng.
26. Rawamangun
Melanjutkan cerita mengenai Utan Kayu, hutan yang sangat lebat disertai yang di dalamnya terdapat banyak rawa-rawa yang kemudian setelah masa perang dengan Mataram selesai dan perluasan kota Batavia, mulai diterabas untuk pembangunan wilayah perumahan. Struktur tanah yang sifatnya rawa-rawa asalnya, membuat banyak pembangunan yang menggunakan pondasi ekstra dalam untuk wilayah ini, dan seperti halnya sifat rawa-rawa yang selalu berada di tengah hutan dan mirip halnya daerah Utan Kayu, Rawamangun juga masih relatif lebih hijau.
27. Hek
Tempat yang terletak antara Kantor Kecamatan Kramatjati dan kantor Polisi Resor Kramatjati, sekitar persimpangan dari jalan Raya Bogor ke Taman Mini Indonesia Indah (TMII) terus ke Pondokgede, dikenal dengan nama Hek. Rupanya, nama tersebut berasal dari bahasa Belanda. Menurut Kamus Umum Bahasa Belanda – Indonesia (Wojowasito 1978:269), kata Hek berarti pagar. Tetapi menurut Verklarend Handwoordenboek der Nederlandse Taal (Koenen- Endpols, 1946:388), kata Hek dapat juga berarti pintu pagar (“..raam-of traliewerk…”).
Dari seorang penduduk setempat yang sudah berumur lanjut, diperoleh keterangan, bahwa di tempat itu dahulu memang ada pintu pagar, terbuat dari kayu bulat, ujung – ujungnya diruncingkan, berengsel besi besar-besar, bercat hitam. Pintu itu digunakan sebagai jalan keluar-masuk kompleks peternakan sapi, yang sekelilingnya berpagar kayu bulat. Kompleks peternakan sapi itu dewasa ini menjadi kompleks Pemadam Kebakaran dan Kompleks Polisi Resort Keramatjati.
Sampai tahun tujuh puluhan kompleks tersebut masih biasa disebut budreh, ucapan penduduk umum untuk kata boerderij, yang berarti kompleks pertanian dan atau peternakan. Kompleks peternakan tersebut merupakan salah satu bagian dari Tanah Partikelir Tanjoeng Oost, yang pada masa sebelum Perang Dunia Kedua terkenal akan hasil peternakannya, terutama susu segar untuk konsumsi orang-orang Belanda di Batavia. (Sumber: De Haan 1935: Van Diesen 1989).
28. Jalan Cengkeh
Jalan Cengkeh terletak di Kota Tua Jakarta sebelah utara Kantor Pos, di samping sebelah timur Pasar Pisang. Dahulu jaman penjajahan Belanda, jalan itu bernama Princenstraat, tetapi umum juga disebut Jalan Batutumbuh, mungkin karena di sana terdapat batu bertulis. Kawasan sekitar batu prasasti Purnawarman, di Tugu juga biasa disebut Kampung Batutumbuh.
Pada tahun 1918, di dekat tikungan Jalan Cengkeh ke Jalan Kalibesar Timur, yang waktu itu bernama Groenestraat, ditemukan batu bertulis peninggalan orang-orang Portugis, yang biasa disebut padrao. Padrao itu dipancangkan oleh orang-orang Portugis, menandai tempat akan dibangun sebuah benteng, sesuai dengan perjanjian yang dibuat antara Raja Sunda dengan perutusan Portugis yang dipimpin oleh Henriquez de Lemme, yang menurut Sukamto ditandatangani pada tanggal 21 Agustus 1522. Batu bertulis itu diberi ukiran berupa lencana.
Raja Immanuel. Rupanya de Leme beserta rombongannya belum mengetahui bahwa raja Portugal tersebut telah meninggal tanggal 31 Desember 1521. Dalam perjanjian tersebut disepakati bahwa Portugis akan mendirikan benteng di Banten dan Kalapa. Untuk itu tiap kapal Portugis yang datang akan diberi muatan lada yang harus ditukar dengan barang-barang keperluan yang diminta oleh pihak Sunda. Mulai saat benteng dibangun pihak Sunda akan menyerahkan 1.000 karung lada tiap tahun untuk ditukarkan dengan barang-barang yang dibutuhkan (Sumber: Hageman 1867: Soekamto 1956: Danasasmita 1983).
29. Japat
Japat terletak di sebelah tenggara Pelabuhan Sunda Kalapa, termasuk wilayah Kelurahan Ancol Utara, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara. Nama kawasan tersebut berasal dari kata jaagpad. Ada yang mengatakan, kata jaagpad berarti “Jalan setapak yang biasa digunakan untuk berburu”. Katanya jaag, dari jagen, artinya “berburu” Pad, artinya “jalan setapak”. Padahal, kata jaagpad tidak ada sangkut pautnya dengan berburu, melainkan sebuah istilah dalam pelayaran perahu. Pada alur sungai atau terusan yang dangkal, perahu yang melaluinya baru dapat bergerak maju, kalo ditarik.
Pada jaman Kompeni Belanda, bahkan beberapa dasawarsa sebelum pelabuhan Tanjungpriuk dibuat, kapal-kapal (layar) yang cukup besar bila berlabuh di pelabuhan Batavia, yang sekarang menjadi Pelabuhan Sunda Kalapa, tidak merapat seperti sekarang, melainkan biasa membuang sauh masih jauh di laut lepas. Pengangkutan orang dan barang dari kapal biasa dilakukan dengan perahu.
Untuk mempermudah pendaratan, di sebelah timur Pelabuhan Sunda Kalapa sekarang dibuat terusan khusus untuk perahu-perahu pendarat. Terutama di musim hujan, terusan tersebut biasa menjadi dangkal, dipenuhi lumpur dari darat bercampur pasir dari laut sehingga perahu kecil pun sulit melewatinya. Apalagi perahu besar, berlunas lebar, sarat muatan, agar bisa bergerak maju harus dihela beberapa kuda atau sejumlah orang yang berjalan di depan perahu, sebelah kiri dan kanan terusan. Terusan tersebut diuruk pada abad ke-19, sehingga sekarang sulit untuk melacaknya. Yang tersisa hanya sebutannya jaagpad yang berubah menjadi japat, sebagai nama dari kawasan tersebut.
30. Jatinegara
Jatinegara dewasa ini menjadi nama sebuah Kecamatan. Kecamatan Jatinegara, Kotamadya Jakarta Timur, salah satu pusat Kota Jakarta yang multipusat itu. Nama Jatinehara baru muncul pada kawasan tersebut sejak tahun 1942, yaitu pada awal masa pemerintahan pendudukan balatentara Jepang di Indonesia, sebagai pengganti nama Meester Cornelis yang berbau Belanda.
Sebutan Meester Cornelis mulai muncul ke pentas sejarah kota Jakarta pada pertengahan abad ke-17, dengan diberikannya izin pembukaan hutan di kawasan itu kepada Cornelis Senen, adalah seorang guru agama Kristen, berasal dari Lontor, pulau Banda. Setelah tanah tumpah-darahnya dikuasai sepenuhnya oleh kompeni, pada tahun 1621, Senen mulai bermukim di Batavia, ditempatkan di kampung Bandan.
Dengan tekun ia mempelajari agama Kristen sehingga kemudian mampu mengajarkannya kepada kaum sesukunya. Dia dikenal mampu berkhotbah baik dalam bahasa Melayu maupun dalam bahasa Portugis (kreol). Sebagai guru, ia biasa dipanggil mester, yang berarti “tuan guru”. Hutan yang dibukanya juga dikenal dengan sebutan Mester Cornelis, yang oleh orang-orang pribumi biasa disingkat menjadi Mester. Bahkan sampai dewasa ini nama itu nampaknya masih umum digunakan oleh penduduk Jakarta, termasuk oleh para pengemudi angkot (angkutan kota). Kawasan hutan yang dibuka oleh Mester Cornelis Senen itu lambat laun berkembang menjadi satelit Kota Batavia.
Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah oleh Pemerintah Hindia Belanda dibentuklah Pemerintahan Gemeente (kotapraja) Meester Cornelis, bersamaan dengan dibentuknya Gemeente Batavia. Kemudian, mulai tanggal 1 Januari 1936 Gemeente Meester Cornelis digabungkan dengan Gemeente Batavia. Disamping kedudukannya sebagai gemeente, pada tahun 1924 Meester Cornelis dijadikan nama kabupaten, Kabupaten Meester Cornelis, yang terbagi menjadi 4 kewedanaan, yaitu Kewedanaan Meester Cornelis, Kebayoran, Bekasi, dan Cikarang (Kolonial Tidschrifft,Maart 1933:1).
Pada jaman Jepang pemerintah pendudukan Jepang, nama Meester Cornelis diganti menjadi Jatinegara, berstatus sebagai sebuah Siku, setingkat kewedanaan, bersama-sama dengan Penjaringan, Manggabesar, Tanjungpriuk, Tanahabang, Gambir, dan Pasar Senen. Ketika secara administrative Jakarta ditetapkan sebagai Kotapraja Jakarta Raya, Jatinegara tidak lagi menjadi kewedanaan, karena kewedanaan dipindahkan ke Matraman, dengan sebutan Kewedanaan Matraman. Jatinegara menjadi salah satu wilayah Kecamatan Pulogadung, Kewedanaan Matraman (The Liang Gie 1958:144).
31. Jatinegara Kaum
Jatinegara Kaum dewasa ini menjadi sebuah kelurahan, Kelurahan Jatinegara Kaum, Kecamatan Pulogadung, Kotamadya Jakarta Timur. Disebut Jatinegara Kaum, karena di sana terdapat kaum, dalam hal ini rupanya kata kaum diambil dari bahasa Sunda, yang berarti “tempat tinggal penghulu agama beserta bawahannya” (Satjadibrata, 1949:149). Sampai tahun tigapuluh abad yang lalu, penduduk Jatinegara Kaum umumnya berbahasa Sunda (Tideman 1933:10).
Dahulu Jatinegara Kaum merupakan bagian dari kawasan Jatinegara yang meliputi hampir seluruh wilayah Kecamatan Pulogadung sekarang. Bahkan di wilayah Kecamatan Cakung sekarang, terdapat sebuah kelurahan yang bernama Jatinegara, yaitu Kelurahan Jatinegara. Dari mana asal nama Jatinegara serta kapan kawasan tersebut bernama demikian, belum dapat dinyatakan dengan pasti.
Yang jelas nama kawasan tersebut baru disebut-sebut pada tahun 1665 dalam catatan harian (Dagh Register) Kastil Batavia, waktu diserahkan kepada Pangeran Purbaya beserta para pengikutnya. Pangeran Purbaya adalah salah seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Banten yang digulingkan dari tahtanya oleh putranya sendiri, Sultan Haji, dengan bantuan kompeni Belanda pada tahun 1682. Setelah tertawan, Pangeran Purbaya beserta saudara-saudaranya yang lain, seperti Pangeran Sake dan Pangeran Sangiang, ditempatkan di dalam benteng Batavia. Kemudian, ditugaskan untuk memimpin para pengikutnya, yang ditempatkan di beberapa tempat, seperti Kebantenan, Jatinegara, Cikeas, Citeurep, Ciluwar, dan Cikalong. Orang-orang Banten yang bermukim di Jatinegara, awalnya dipimpin oleh Pangeran Sangiang. Karena dianggap terlibat dalam pemberontakan Kapten Jonker, kekuasaan Pangeran Sangiang di Jatinegara ditarik kembali, dan pada tahun 1680 diserahkan kepada Kiai Aria Surawinata, mantan bupati Sampora, kesultanan Banten (T.B.G. XXX:138), yang setelah menyerah kepada kompeni diangkat menjadi Letnan, di bawah Pangeran Sangiang, sampai tahun 1689.
Surawinata masih bermukim di Luarbatang. Setelah Kiai Aria Surawinata wafat, berdasarkan putusan pimpinan Kompeni Belanda di Batavia tertanggal 27 Oktober 1699, sebagai penggantinya adalah putranya, Mas Muhammad yang Panca wafat, sebagai penggantinya ditunjuk salah seorang putranya, Mas Ahmad. Pada waktu para bupati Kompeni diwajibkan untuk menanam kopi di wilayahnya masing-masing, penyerahan hasil pertanian itu dari tahun 1721 sampai dengan tahun 1723, tercatat atas nama Mas Panca. Baru pada tahun 1724 tercatat atas nama Mas Ahmad. Pada tahun 1740 rupanya Mas Ahmad masih menjadi bupati Jatinegara atas nama Mas Ahmad berjumlah 2.372,5 pikul, kurang lebih 14.650 kg.
32. Kebantenan
Kawasan Kebantenan, dewasa ini termasuk wilayah Kelurahan Semper Timur, Kecamatan Cilincing, Kotamadya Jakarta Utara. Dikenal dengan sebutan Kebantenan, karena kawasan itu sejak tahun 1685 dijadikan salah satu tempat pemukiman orang-orang Banten, di bawah pimpinan Pangeran Purbaya, salah seorang putra Sultan Ageng Tirtayasa. Tentang keberadaan orang-orang Banten di kawasan tersebut, sekilas dapat diterangkan sebagai berikut.
Setelah Sultan Haji (Abu Nasir Abdul Qohar) mendapat bantuan kompeni yang antara lain melibatkan Kapten Jonker, Sultan Ageng Tirtayasa terdesak, sampai terpaksa meninggalkan Banten, bersama keluarga dan abdi-abdinya yang masih setia kepadanya. Mereka berpencar, tetapi kemudian terpaksa mereka menyerahkan diri, Sultan Ageng di sekitar Ciampea, Pangeran Purbaya di Cikalong kepada Letnan Untung (Untung Surapati).
Di Batavia awalnya mereka ditempatkan di dalam lingkungan benteng. Kemudian Pangeran Purbaya beserta keluarga dan abdi-abdinya diberi tempat pemukiman, yaitu di Kebantenan, Jatinegara, Condet, Citeureup, dan Cikalong. Karena dituduh terlibat dalam gerakan Kapten Jonker, Pangeran Purbaya dan adiknya, Pangeran Sake, pada tanggal 4 Mei 1716 diberangkatkan ke Srilangka, sebagai orang buangan. Baru pada tahun 1730 kedua kakak beradik itu diizinkan kembali ke Batavia. Pangeran Purbaya meninggal dunia di Batavia tanggal 18 Maret 1732.
Perlu dikemukakan, bahwa di samping Kabantenan di Jakarta Utara itu, ada pula Kabantenan yang terletak antara Cikeas dengan Kali Sunter, sebelah tenggara Jatinegara, atau sebelah barat daya Kota Bekasi. Di salah satu rumah tempat kediaman Pangeran Purbaya yang berada di barat daya Bekasi itu ditemukan lima buah prasasti berhuruf Sunda kuno, peninggalan jaman kerajaan Sunda, yang ternyata dapat sedikit membuka tabir kegelapan sejarah Jawa Barat.
33. Kampung Ambon
Merupakan penyebutan nama tempat yang ada di Rawamangun, Jakarta Timur. Nama ini sudah ada sejak tahun 1619. Pada waktu itu JP. Coen sebagai Gubernur Jenderal VOC menghadapi persaingan dagang dengan Inggris. Untuk memperkuat angkatan perang VOC, Coen pergi ke Ambon mencari bantuan dengan menambah pasukan dari masyarakat Ambon. Pasukan Ambon yang dibawa Coen dimukimkan itu lalu kita kenal sebagai kampung Ambon, terletak di daerah Rawamangun, Jakarta Timur.
34. Kampung Bali
Di wilayah Propinsi DKI Jakarta terdapat beberapa kampung yang menyandang nama Kampung Bali, karena pada abad ketujuhbelas atau kedelapanbelas dijadikan pemukiman orang-orang Bali, yang masing-masing dipimpin kelompok etnisnya.
Untuk membedakan satu sama lainnya, dewasa ini biasa dilengkapi dengan nama kawasan tertentu yang berdekatan, yang cukup banyak dikenal. Seperti Kampung Bali dekat Jatinegara yang dulu bernama Meester Cornelis, disebut Balimester, Kecamatan Jatinegara, Kotamadya Jakarta Timur. Balimester tercatat sebagai perkampungan orang-orang Bali sejak tahun 1667. Kampung Bali Krukut, terletak di sebelah barat Jalan Gajahmada sekarang yang dahulu bernama Molenvliet West. Di sebelah selatan perkampungan itu, berbatasan dengan tanah milik Gubernur Reineir de Klerk (1777 – 1780), di mana dibangun sebuah gedung peristirahatan, yang dewasa ini dijadikan Gedung Arsip Nasional.
Kampung Bali Angke sekarang menjadi kelurahan Angke, Kecamatan Tambora Jakarta Barat. Di sana terdapat sebuah masjid tua, yang menurut prasasti yang terdapat di dalamnya, dibangun pada 25 Sya’ban 1174 atau 2 April 1761. Di halaman depan masjid itu terdapat kuburan antara lain makam Pangeran Syarif Hamid dari Pontianak yang riwayat hidupnya ditulis di Koran Javabode tanggal 17 Juli 1858. Dewasa ini mesjid tersebut biasa disebut Masjid Al-Anwar atau Masjid Angke. Pada tahun 1709 di kawasan itu mulai pula bermukim orang-orang Bali di bawah pimpinan Gusti Ketut Badulu, yang pemukimannya berseberangan dengan pemukiman orang-orang Bugis di sebelah utara Bacherachtsgrach, atau Jalan Pangeran Tubagus Angke sekarang. Perkumpulan itu dahulu dikenal dengan sebutan Kampung Gusti (Bahan: De Haan 1935,(I), (II):Van Diesen 1989).
35. Kampung Bandan
Merupakan penyebutan nama Kampung yang berada dekat pelabuhan Sunda Kelapa atau masih dalam Kawasan Kota Lama Jakarta (Batavia). Berdasarkan informasi yang dapat dikumpulkan terdapat beberapa versi asal-usul nama Kampung Bandan.
1. Bandan berasal dari kata Banda yang berarti nama pulau yang ada di daerah Maluku. Kemungkinan besar pada masa lalu (periode kota Batavia) daerah ini pernah dihuni oleh masyarakat yang berasal dari Banda. Penyebutan ini sangatlah lazim karena untuk kasus lain ada kemiripannya, seperti penyebutan nama kampung Cina disebut Pecinan. Tempat memungut pajak atau cukai (bea) disebut Pabean dan Pekojan sebagai perkampungan orang Koja (Arab), dan lain-lain.
2. Banda berasal dari kata Banda (bahasa Jawa) yang berarti ikatan. Kata Banda dengan tambahan awalan di (dibanda) mempunyai arti pasif yaitu diikat. Hal ini dapat dihubungkan dengan adanya peristiwa yang sering dilihat masyarakat pada periode Jepang, yaitu pasukan Jepang membawa pemberontak dengan tangan terikat melewati kampung ini menuju Ancol untuk dilakukan eksekusi bagi pemberontak tersebut.
3. Banda merupakan perubahan ucapan dari kata Pandan. Pada masa lalu di kampung ini banyak tumbuh pohon, sehingga masyarakat menyebutnya dengan nama Kampung Pandan.
Refrensi : Blogdetikcom
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan sobat tinggalkan jejak di bawah ini...NO.SPAM
Dengan Memberikan Komentar Secara Otomatis akan Mendapatkan Pagerank, Traffic dan Backlink.